Rabu, 03 April 2013


Tugas makalah  Ulumul Hadis

PENGERTIAN HADIS SHAHIH


Copy of SATAIN WARNA.bmp


OLEH
FERDI HALIMIN
10 01 01 03 008


JURUSAN TARBIYAH/ PRODI KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SULTAN QAIMUDDIN KENDARI
2013/2014




KATA PENGANTAR

Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah membimbing manusia dengan petunjuk-petunjuk-Nya sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah, petunjuk menuju ke jalan yang lurus dan jalan yang diridhai-Nya. Demikian juga, penulis bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan menyusun makalah yang sederhana ini hingga dapat terselesaikan.
Shalawat serta salam semoga senantiaasa dihaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw, para sahabat, keluarga, dan para pengikutnya sampai dihari kiamat, terutama mereka yang memelihara keutuhan, kemurnian dan otentisitas sunnah baik dengan cara penghafalan, periwayatan, penulisan, pengkodifikasian, pengkajian, pengamalan dan penerbitan.
Hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan peretujuan Nabi yang dijadikan dasar hukum Islam setelah Al-Qur’an. Seseorang tidak akan mampu memahami hadis dan permasalahannya secara benar tanpa mengetahui Ulumul Hadis terlebih dahulu. Ibarat seseorang tidak akan dapat ssampai keloteng dengan aman tanpa melalui tangga.
Dalam makalah ini, secara rinci membahas tentang pengertian hadis & hadis shahih, syarat-syarat hadis shahih, pembagian hadis shahih, kehujahan hadis shahih, dan ranking silsilah sanad hadis shahih.
Tentunya dalam penyusunan makalah ini dengan segala keterbatasan, tidak lepas dari kekurangan, tetapi penulis telah beusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir kekurangan-kekurangan tersebut. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi penulis khususnya para pembaca pada umumnya. Aamiin


Kendari, Maret 2013
Penulis,


Ferdi Halimin


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................    i
KATA PENGANTAR………………………………………………………….    ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ...........................................................................................    1
B.     Rumusan Masalah .....................................................................................     1

BAB II PEMBAHASAN
1.      Pengertian Hadis ..................................................................................    2
2.      Pengertian Hadis Shahih ......................................................................    2
3.      Syarat-syarat Hadis Shahih ..................................................................    4
4.      Pembagian Hadis Shahih .....................................................................    7
5.      Kehujahan Hadis Shahih ......................................................................   8
6.      Ranking Silsilah Sanad Hadis Shahih...................................................    9

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ...........................................................................................         10
B.     Saran  ....................................................................................................         10

DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Ilmu hadis merupakan ilmu pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun lainnya. Maka segala ilmu yang membicarakan masalah hadis pada berbagai aspeknya berarti termasuk ilmu hadis.
Pada masa tabi’in, ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar hadis ini ialah Ibn Shihab az-Zuhri (51-124 H). ini diperlakukan sehubungan dengan keahliannya daam bidang hadis dan kedudukan dirinya sebagai  pengumpul hadis, atas perintah resmi dari kahlifah Umar bin Abd al-Aziz. Dari sini ilmu hadis mulai terlihat wujudnya, meskipun dalam bentuk kaidah-kaidah yang sederhana.
Dalam catatan sejarah perkembangan hadis diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap, adalah seorang ulama sunni bernama al-Qadi Abu Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), dengan kitabnya Al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i.
B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dirumuskan diatas, sehingga dapat ditarik permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa pengertian Hadis ?
2.      Apa pengertian Hadis Shahih ?
3.      Apa syarat-syarat Hadis Shahih ?
4.      Bagaimana pembagian Hadis Shahih ?
5.      Bagaimana kehujahan Hadis Shahih ?
6.      Bagaimana ranking silsilah Sanad Hadis Shahih ?




BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Hadis
Menurut bahasa (lughat)
a.       Jadid, lawan qadim = yang baru. Jamaknya : hidats, hudatsa’ dan huduts.
b.      Qarib = yang dekat, yang belum lama terjadi seperti dalam perkataan haditsul ahdi bil islam =orang yang baru memeluk agama Islam. Jamaknya : hidats, hudatsa’ dan huduts
c.       Khabar= warta, yakni ma yutahaddatsubihi wa yunqalu= sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang, sama maknanya dengan hidditsa. Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah.
Hadits yang bermakna khabar ini diisytiqaqkan dari tahdits yang bermakna riwayat atau ikhbar – mengabarkan. Apabila dikatakan haddatsana bi haditsin, maka maknanya akhbarana bihi haditsun – dia mengabarkan sesuatu kabar kepada kami.[1]
Menurut istilah ahli hadits
Segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau dan segala keadaan beliau
2.      Pengertian Hadis Shahih
Kata shahih menurut bahasa darri kata shahha, yashihhu, shuhhan wa shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah, dan yang sempurna. Para ulama bahasa menyebut kata Shahih ini sebagai lawan kata dari saqim (sakit). Maka kata Hadis Shahih menurut bahasa berarti hadis yang sah, hadis yang sehat atau hadis yang selamat.
Secara terminologis, Hadis Shahih didefinisikan oleh Ibn ash-Shalah sebagai berikut :
“Hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang sanadnya bersambung, diriwayatkkan oleh (pe-rawi) yang adil dan dhabith, diterima para (pe-rawi) yang adil dan dhabith hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan, dan tidak ber’illat.”[2]
Ibn Hajar al-Asqalani mendefinisikannya dengan ringkas, yaitu :
“Hadis yang diriwayatkan oleh adil , sempurna ke-dhabith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat dan tidak syadz.”[3]
Al- ‘Iraqi juga mengemukakan definisi yang hampir sama, akan tetapi dalam dua syarat ia memberikan penekanan khusus dengan menambahkan kata-kata lainnya, yaitu : Pertama, pada ke-dhabith-an ia menyebutkan dhabith al-fuad (kekuatan ingatan/kecerdasan). Ini artinya, bahwa ia menekankan kekuatan menghafal Hadis, yang berbeda dengan dhabith al-kitab; dan kedua, pada ‘illat ia menyebutkan  ‘illat qadihah (‘illat yang merusak atau mencacatkan).[4]
Asy-Syafi’I menyebutkan, bahwa sebuah Hadis dapat dijadikan hujah, apabila : 1) diriwayatkan oleh perawi yang dapat dipercaya pengalaman agamanya, dikenal jujur, memahami dengan baik Hadis yang diriwayatkannya, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafaznya, mampu meriwayatkan hadis secara lafaz, terpelihara hafalannya, bila meriwayatkan hadis secara laszhi bunyi hadis yang diriwayatkan sama dengan bunyi hadis yang  diriwayatkan oleh orang lain, dan terlepas dari tadlis (penyembunyian identitas perawi karena cacat); 2) sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah saw, atau dapat juga tidak sampai kepadanya.[5]
Al-Bukhari dan Muslim, dua ulama terkemuka dikalangan mudawwin Hadis juga tidak membuat definisi Shahih secara tegas. Mereka hanya menetapkan beberapa kriteri hadis yang bisa dijadikan hujjah, dan ini mencerminkan ketatnya penentuan ke-shahih-an hadis menurut keduanya. Kriteria-kriteria itu adalah : 1) silsilah sanadnya harus bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi akhir; 2) para perawinya harus dikenal tsiqah, dalam arti adil dan dhabith (kuat hafalannya); 3)hadisnya tidak ber’’illat (cacat) dan Syudzudz (janggal). Mengenai persambungan sanad atau ittshal as-sanad, mereka berbeda pendapat. Menurut al-Bukhari, sanad hadis dikatakan bersambung apabila antara satu perawi dengan perawi berikutnya pernah bertemu (liqa’), meskipun hanya satu kali. Sedangkan menurut Muslim, antara mereka cukup diketahui sezaman (mu’asharah) saja, sudah dapat  dikatakan bersambung.

3.      Syarat-syarat Hadis Shahih

a.      Diriwayatkan oleh para perawi yang adil
Kata ‘adil dari kata ‘adala, ya’dilu, adalatan wa ‘udulatan, yang menuut bahasa berarti lurus, tidak ‘ berat sebelah, tidak zalim, dan tidak menyimpang. Para perawi yang ‘adil, berarti perawi yang lurus atau yang tidak menyimpang.
Yang dimaksud dengan istilah ‘adil dalam periwayatan disini, secara terminologis mempunyai arti spesifik atau khusus yang sangat ketat dan berbeda dengan istilah ‘adil dalam terminology hukum. Dalam periwayatan, seseorang dikatakan ‘adil apabila memiliki sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, baik akidahnya, terpelihara dirinya dari dosa besar dan kecil, dan terpelihara akhlakna termasuk dari hal-hal yang menodai muru’ah, disamping ia harus muslim, baligh, berakal sehat, dan tidak fasik.[6]
Ke’adil-an para perawi diatas menurut para ulama dapat diketahui melalui : 1) keutamaan kepribadian nama perawi itu sendiri yang terkenal dikalangan ulama ahli Hadis, sehinggal ke-‘adil-annya tidak diragukan lagi; 2) penilaian dari para ulama lainnya, yang melakukan penilaian terhadap para perawi tentang ke-‘adil-an perawi-perawi Hadis; 3) penerapan kaidah al-jarh wa at-ta’dil, apabila terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama peneliti terhadap perawi-perawi tertentu.
b.      Ke-dhabith-an perawinya Sempurna
Kata dhabith dari kata dhabatha, yadhbithu, dhabthan, yang menurut bahasa berarti kokok, yang kuat, yang cermat, yang terpelihara, dan yang hafal dengan sempurna. Maka, ungkapan perawi yang dhabith, berarti perawi yang cermat atau perawi yang kuat.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabith adalah yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala ia perlukan. Ini artinya bahwa orang yang disebut dhabith harus mendengar secara utuh apa yang diterimanya, memahami isinya, kemudian mampu mereproduksi atau menyampaikan kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana mestinya. Ini sesuai dengan yang dikehendaki oleh isi salah satu hadis Rasul saw, sebagaimana telah disinggung pada pembahasan terdahulu, dari Ibn Mas’ud, yang artinya “Semoga Allah memberikan karunia kepada Hamba-Nya yang mendengar ucapanku, kemudian menghafal dan menyampaikan kepada orang lain. Ada orang menerima ilmu tetapi tidak memahaminya. Ada juga orang yang menerima ilmu dan menyampaikan kepada  orang lain, akan tetapi orang yang menerimanya lebih paham dari yang menyampaikannya.[7]
c.       Antara Sanad-sanadnya harus Muttashil
Kata muttashil dari kata ittashala, yattashilu, ittishalan, yang secara bahasa berarti yang bersambung atau berhubungan. Maka kata sanad yang muttashil, secara bahasa berarti sanad-sanad hadis yang berhubungan atau yang bersambungan.
Yang dimaksud dengan sanad hadis yang muttashil disini, ialah sanad-sanad hadis yang satu dengan lainnya pada sanad-sanad yang disebut berdekatan atau beruntun, bersambungan dan merangkai. Dengan kata lain, diantara pembawa hadis dan penerimanya  terjadi pertemuan langsung. Dengan persambungan ini, sehingga menjadi silsilah  atau rangkaian sanad yang sambung menyambung, sejak awal sanad sampai kepada sumber hadis itu sendiri, yaitu Rasulullas saw.
Hadis-hadis yang terbukti sanad-sanadnya muttashil, maka hadis tersebut dilihat dari sudut persambungannya memenuhi satu syarat ke-shahih-annya. Dengan demikian, maka haidis-hadis yang termasuk kedalam kategori mursal, muntaqhi’, mu’dhal, dan mu’allq, tidak termasuk kedalam kelompok hadis shahih.
Untuk membuktikan apakah antara sanad-sanad itu bersambung atau tidak, diantaranya dilihat bagaimana keadaan usia masing-masing dan tempat tinggal mereka. Apakah usia keduanya memungkinkan ketemu atau tidak. Selain itu, bagaimana pula cara mereka menerima dan manyampaikannya. Misalnya, apakah dengan cara sama’ (mendengar langsung dari perawi hadis itu), atau dengan cara munawalah (seorang guru meberikan hadis yang dicatatnya kepada muridnya).
d.      Tidak ada cacat atau ‘Illat
Kata ‘illat dari kata ‘alla, ya’ullu, atau dari ‘alla, ya’illu, yang secara bahasa brarti penyakit, sebab, alas an, atau uzur/halangan. Maka ungkapan tidak ber’illat secara bahasa berarti tidak ada sebab (yang melemahkannya), atau tidak ada halangan.
Secara terminologis, yang dimaksud dengan ‘illah disini ialah suatu sebab yang tidak Nampak atau samar-sama yang dapat mencacatkan ke-shahih-an suatu hadis. Maka yang disebut hadis tidak ber’illat berarti hadis yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan adanya hal-hal yang tidak baik, yang kelihatannya samar-samar. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zhahir-nya hadis tersebut terlihat shahih. Adanya cacat tidak Nampak tersebut mengakibatkan adanya keraguan, sedang hadis yang didalamnya terdapat keraguan seperti kualitasnya menjadi tidak shahih.
Misalnya, menyebutkan muttashil terhadap hadis munqathi’ atau yang mursal. Penyebutan ini mengakibatkan Nampak adanya kebenaran, bahwa hadis itu Muttashil. Akan tetapi tidak didukung oleh bukti yang meyakinkan, sehingga jika diteliti lebih lanjut, akan menimbulkan keraguan akan kebenarannya. Ini artinya Nampak adanya kebenaran yang samar-samar. Dengan demikian, maka hadis ini dinilai memiliki ‘illat dari sudut sanad-nya.
e.       Tidak janggal atau Syadz
Kata syadz dari kata syadzdza, yazyudzdzu, yang menurut bahasa  berarti yang ganjil, yang tersinggung, yang terasing, yang menyahi aturan, yang tidak biasa atau yang menyimpang. Maka hadis yang syadz menurut bahasa berarti hadis yng menyimpang, hadis yang ganjil atau hadis yang menyalahi aturan.
Yang dimaksud dengan hadis yang tidak syadz disini ialah hadis yang tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah diketahui tinggi kualitas ke-shahih-annya. Hadis yang syadz pada dasarnya merupakan hadis yang diriwaytkan oleh perawi yang tsiqah. Akan tetapi karena matan-nya menyalahi hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tinggi ke-tsiwqah-annya, maka hadis itu dipandang menjadi janggal atau syadz. Dengan demikian, maka kedudukan haadis ini dipandang lemah dari sudut matannya.
Al-Hakim memberikan difinisi syadz itu berbeda dengan pendapat para ulama lainnya. Menurutnya, bahwa hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tsiqah dan diterima dari yang tsiqah pula, tanpa ada mutabi atau perawi lain yang meriwayatkannya. Dengan difinisi ini berarti ia menyamakan hadis syadz dengan hadis fard atau garib, yang berarti pembahasan tentang ke-syadz-an suatu hadis tidak ada kaitannya dengan pembahasan dari sudut kualitas atau ke-shahih-annya.
4.      Pembagian hadis Shahih

a.       Hadis shahih li-Dzatih
Yang dimaksud dengan hadis shahih li-dzatih ialah hadis shahih dengan sendirinya. Artinya ialah hadis shahih yang memiliki lima syarat atau kriteria, sebagaimana disebutkan pada persyaratan diatas. Dengan demikian, penyebutan hadis shahih li-dzatih dalam pemakaiannya sehari-hari, pada dasarnya cukup dengan memakai sebutan hadis shahih, tanpa harus member tambahan kata li-dzatih.
Hadis shahih dalam kategori ini telah berhasil dihimpun oleh para mudawwin hadis, dengan jumlahnya yang sangat banyak seperti oleh Malik, al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud, at-Turmudzi, dan Ibn Majah dalam kitab-kitab shahih karya masing-masing.
b.      Hadis shahih li-Gairih
Yang dimaksud  dengan hadis shahih li-gairih ialah hadis yang ke-shahh-annya dibantu oleh adanya keterangan lain. Hadis kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspekrawinya (qalil adh-dhabith). Diantara perawinya ada yang kurang sempurna ke-dhabith-annya, sehingga dianggap tak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadis shahih. Baginya semula hanya sampai kepada derajat atau kategori hadis hasan li-dzatih.
Dengan ditemukannya keterangan lain, baik berupa syahid maupun mutabi’ (mayan atau sanad lain) yang bias menguatkan atau kandungan matan-nya, hadis ini derajatnya naik setingkat lebih tinggi, sehingga menjadi shahih li-gairih.
5.      Kehujahan hadis Shahih
Para ulama sependapat, bahwa hadis ahad yang shahih dapat dijadikan hujah untuk menetapkan syari’at Islam. Namun mereka berbeda pendapat, apabila hadis kategori ini dijadikan hujah untuk menetapkan soal-soal kaidah.
Perbedaan pendapat diatas berpangkal pada perbedaan penilaian mereka tentang faedah yang diperoleh dari hadis ahad yang shahih, yaitu apakah hadis semacam ini member faedah qath’I atau zhanni. Ulama yang menganggap hadis sesmacam ini member faedah qath’I sebagaimana hadis mutawatir, mka hdis-hadis tersebut dapat dijadikan hujah untuk menetapkan masalah-masalah akidah. Akan tetapi, yang menganggap hanya memberi faedah zhanni, berarti hadis-hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujah untuk menetapkan soal ini.
Para ulama dalam hal ini terbagi kepada beberazp pendapat, anatara lain pertama, menurut sebagian ulama memandang bahwa hadis shahih tidak member faedah qath’I, sehingga tidak bias dijadikan hujah untuk menetapkan sola akidah. Sebagian ulama ahli hadis sebagaimana dikatakan an-Nawawi, memandang hanya hadis-hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim memberikan faidah qath’i. menurut sebagian ulama lainnya, antar Ibn Hazm, bahwa semua hadis shahih memberikan faedah qath’I tanpa dibedakan apakah diriwayatkan oleh kedua ulama diatas atau bukan. Menuurut Ibn Hazm, tidak ada keterangan atau alas an yang harus mebedakan hal ini berdasarkan siapa yang meriwayatkannya. Semua hadis, jika memenuhi syarat keshahih-annya adalah sama dalan memberikan faedahnya.[8]

6.      Ranking Silsilah Sanad Hadis Shahih
Melihat kualitas masing-masing perawi antara satu dengan yang lainnya tidak sama, begitu juga antara silsilah sanad yang satu dengan silsilah lainnya, maka diantara para ulama ada yang berusaha menyusun ranking atau martabat kualitas mereka sejak yang paling tinggi kualitasnya atau yang disebut dengan a’la darafah atau ashah al-asanid, ahsan al-asanid sampai kepada adh’af al-asanid. Akan tetapi, sesuai dengan hasil penelitian dan visi pandangan masing-masing, diantara mereka tidak sama dalam menentukan siapa menduduki ranking tertinggi.
Diantara mereka ada yang memandang bahwa silsilah sanad tertinggi adalah hadis yang diriwayatkan melalui Ibn Syihab az-Zuhri, dari Salim bin Abdillah bin Umar, menurut yang lainnya ialah hadis yang diriwayatkan melalui Sulaiman al-A’masy, dari Ibrahim an-Nakha’I, dari Alqamah bin Qias, dari Abdullah bin Mas’ud, menurut yang lannya lagi, ialah hadis yang diriwayatkan melalui Malik bin Anas, dari Nafi’ (maula Ibn Umar), dari Ibn Umar. Silsilah sanad yang disebut  terakhir ini dipegang oleh al-Bukhari.
Berdasarkan penilaian terhadap martabat atau ranking-ranking seperti diatas, para ulama ahli hadis membai tingkatan kualitas hadis shahih menjadi Tujuh dengan urutan sebagai berikut :
1.      Hadis yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim (Muttafaq’alaih)
2.      Hadis yang di-takhrij (diriwayatkan) oleh al-Bukhari sendiri
3.      Hadis yang di-takhrij oleh Muslim sendiri
4.      Hadis yang di-takhrij atas dasar syarat-syarat al-Bukhari dan Muslim, akan tetapi keduanya tidak men-takhrij-nya
5.      Hadis yang di-takhrij atas dasar syarat al-Bukhari, akan tetapi al-Bukhari tidak men-takhrij-nya
6.      Hadis yang di-takhrij atas dasar syarat Muslim, akan tetapi Muslim tidak men-takhrij-nya
7.      Hadis yang dishahihkan oleh para ahli hadis selain al-Bukhari dan Muslim dengan tanpa berpegang kepada syarat-syarat keduanya.



[1] Sulaemang L, Ulumul Hadis, (Kendari: CV. SHADIRA, 2009), hal 1
[2] Ibn ash-Shalah, Op.Cit., hlm 177
[3] Ibn Hajar al-Asqalani, Nubbah al-Fikr, Op.Cit., hlm 177
[4] As-Sakhawi, Op.Cit., hlm. 178
[5] Asy-Syafi’i. al-Umm, Juz II, Maktabah Dar at-Turats, Kairo, 1399H/1979M, hlm 367-371
[6] Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbah al-Fikr, Op.Cit., hlm 182
[7] Abu Daud, jilid II, juz III, Op.Cit., hlm 184. Hadis ini juga diriwayatkan oleh asy-Syafi;I, Ahmad bin Hambal, Ibn Majah dan ad-Dharimi.
[8] Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm (selanjutnya disebut Ibn Hazm). Al-IhkamFI USHUL AL-Ahkam, Jilid I, al-Ashimah,  Kairo, t.t, hlm. 119-137.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukannya setelah Al-Qur’an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat Islam baik berupa perintah maupun berupa larangannya sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Hal ini karena hadis meerupakan mubayyin terhadap Al-Qur’an yang karenanya siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis tanpa Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar sya’riat. Dengan demikian antara hadis dan Al-Qur’an memiliki kaitan sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bias dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
B.     Saran
Mempelajari hadis bagi umat Islam merupakan keharusan sebagaimana mempelajari Al-Qur’an karena keduanya mempunyai korelasi yang sangat integral, maka mempelajari pengantarnya juga suatu keharusan. Selain itu, hadis juga sangat bagus dipelajari oleh kalangan anak-anak muda, karena komunitas yang mempelajarinya mayoritas dari kalangan mahasiswa dan pelajar yang memiliki semangat jiwa muda.



DAFTAR PUSTAKA

L, Drs. Sulaemang.  Ulumul Hadis. Kendari : CV. SHADRA. 2009
Asy-Syafi’i. al-Umm, Juz II, Maktabah Dar at-Turats, Kairo, 1399H/1979M
Abu Daud, Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani. Sunan Abi Daud. Dar al-Fikr, Beirut, 1990 M
Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm (selanjutnya disebut Ibn Hazm). Al-IhkamFI USHUL Al-Ahkam, Jilid I, al-Ashimah,  Kairo, 1992
Maktabahmanhajsalafi.wordpress.com/istilah-ilmu-hadis (diakses pada tanggal 6/3/2013)
L, Drs.Sulaemang, Alifuddin, Dr. Muh. Ilmu Mushthalah Hadits. Kendari. 2007
As-Shalih, Dr. Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta : Pustaka Firdaus. 2000




Tidak ada komentar:

Posting Komentar