Tugas makalah Ulumul Hadis
PENGERTIAN HADIS SHAHIH
![Copy of SATAIN WARNA.bmp](file:///C:/Users/ferdy/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
OLEH
FERDI HALIMIN
10 01 01 03 008
JURUSAN TARBIYAH/ PRODI KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SULTAN
QAIMUDDIN KENDARI
2013/2014
KATA
PENGANTAR
Segala
puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah membimbing manusia dengan
petunjuk-petunjuk-Nya sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah,
petunjuk menuju ke jalan yang lurus dan jalan yang diridhai-Nya. Demikian juga,
penulis bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan menyusun makalah yang
sederhana ini hingga dapat terselesaikan.
Shalawat
serta salam semoga senantiaasa dihaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw,
para sahabat, keluarga, dan para pengikutnya sampai dihari kiamat, terutama
mereka yang memelihara keutuhan, kemurnian dan otentisitas sunnah baik dengan
cara penghafalan, periwayatan, penulisan, pengkodifikasian, pengkajian,
pengamalan dan penerbitan.
Hadis
adalah segala perkataan, perbuatan, dan peretujuan Nabi yang dijadikan dasar
hukum Islam setelah Al-Qur’an. Seseorang tidak akan mampu memahami hadis dan
permasalahannya secara benar tanpa mengetahui Ulumul Hadis terlebih dahulu.
Ibarat seseorang tidak akan dapat ssampai keloteng dengan aman tanpa melalui
tangga.
Dalam
makalah ini, secara rinci membahas tentang pengertian hadis & hadis shahih,
syarat-syarat hadis shahih, pembagian hadis shahih, kehujahan hadis shahih, dan
ranking silsilah sanad hadis shahih.
Tentunya
dalam penyusunan makalah ini dengan segala keterbatasan, tidak lepas dari
kekurangan, tetapi penulis telah beusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir
kekurangan-kekurangan tersebut. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan
saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga
bermanfaat bagi penulis khususnya para pembaca pada umumnya. Aamiin
Kendari,
Maret 2013
Penulis,
Ferdi Halimin
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ........................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah
..................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
1.
Pengertian Hadis .................................................................................. 2
2.
Pengertian Hadis Shahih
...................................................................... 2
3.
Syarat-syarat Hadis Shahih .................................................................. 4
4.
Pembagian Hadis Shahih ..................................................................... 7
5.
Kehujahan Hadis Shahih ...................................................................... 8
6.
Ranking Silsilah Sanad Hadis Shahih................................................... 9
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
........................................................................................... 10
B.
Saran .................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Ilmu hadis merupakan ilmu pengetahuan
yang mengkaji atau membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi saw,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun lainnya. Maka segala ilmu yang
membicarakan masalah hadis pada berbagai aspeknya berarti termasuk ilmu hadis.
Pada masa tabi’in, ulama yang pertama
kali menetapkan dasar-dasar hadis ini ialah Ibn Shihab az-Zuhri (51-124 H). ini
diperlakukan sehubungan dengan keahliannya daam bidang hadis dan kedudukan
dirinya sebagai pengumpul hadis, atas
perintah resmi dari kahlifah Umar bin Abd al-Aziz. Dari sini ilmu hadis mulai
terlihat wujudnya, meskipun dalam bentuk kaidah-kaidah yang sederhana.
Dalam catatan sejarah perkembangan hadis
diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam
suatu disiplin ilmu secara lengkap, adalah seorang ulama sunni bernama al-Qadi
Abu Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H),
dengan kitabnya Al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i.
B. Rumusan
masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
dirumuskan diatas, sehingga dapat ditarik permasalahan sebagai berikut :
1. Apa
pengertian Hadis ?
2. Apa
pengertian Hadis Shahih ?
3. Apa
syarat-syarat Hadis Shahih ?
4. Bagaimana
pembagian Hadis Shahih ?
5. Bagaimana
kehujahan Hadis Shahih ?
6. Bagaimana
ranking silsilah Sanad Hadis Shahih ?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Hadis
Menurut bahasa (lughat)
a. Jadid, lawan
qadim = yang baru. Jamaknya : hidats, hudatsa’ dan huduts.
b. Qarib =
yang dekat, yang belum lama terjadi seperti dalam perkataan haditsul ahdi bil islam =orang yang baru
memeluk agama Islam. Jamaknya : hidats,
hudatsa’ dan huduts
c. Khabar= warta,
yakni ma yutahaddatsubihi wa yunqalu= sesuatu
yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang, sama
maknanya dengan hidditsa. Dari makna
inilah diambil perkataan hadits
Rasulullah.
Hadits
yang bermakna khabar ini diisytiqaqkan dari tahdits yang bermakna riwayat atau ikhbar – mengabarkan. Apabila dikatakan haddatsana bi haditsin, maka maknanya akhbarana bihi haditsun – dia mengabarkan sesuatu kabar kepada
kami.[1]
Menurut istilah ahli hadits
Segala ucapan Nabi, segala
perbuatan beliau dan segala keadaan beliau
2.
Pengertian
Hadis Shahih
Kata shahih menurut bahasa darri kata
shahha, yashihhu, shuhhan wa shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa berarti
yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah, dan yang sempurna. Para ulama
bahasa menyebut kata Shahih ini sebagai lawan kata dari saqim (sakit). Maka
kata Hadis Shahih menurut bahasa berarti hadis yang sah, hadis yang sehat atau
hadis yang selamat.
Secara terminologis, Hadis Shahih
didefinisikan oleh Ibn ash-Shalah sebagai berikut :
“Hadis yang disandarkan kepada Nabi
SAW, yang sanadnya bersambung, diriwayatkkan oleh (pe-rawi) yang adil dan
dhabith, diterima para (pe-rawi) yang adil dan dhabith hingga sampai akhir
sanad, tidak ada kejanggalan, dan tidak ber’illat.”[2]
Ibn
Hajar al-Asqalani mendefinisikannya dengan ringkas, yaitu :
“Hadis yang diriwayatkan oleh adil
, sempurna ke-dhabith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat dan tidak
syadz.”[3]
Al- ‘Iraqi juga mengemukakan definisi yang hampir
sama, akan tetapi dalam dua syarat ia memberikan penekanan khusus dengan
menambahkan kata-kata lainnya, yaitu : Pertama,
pada ke-dhabith-an ia menyebutkan dhabith al-fuad (kekuatan
ingatan/kecerdasan). Ini artinya, bahwa ia menekankan kekuatan menghafal Hadis,
yang berbeda dengan dhabith al-kitab; dan kedua,
pada ‘illat ia menyebutkan ‘illat
qadihah (‘illat yang merusak atau mencacatkan).[4]
Asy-Syafi’I menyebutkan, bahwa sebuah Hadis dapat
dijadikan hujah, apabila : 1) diriwayatkan oleh perawi yang dapat dipercaya
pengalaman agamanya, dikenal jujur, memahami dengan baik Hadis yang
diriwayatkannya, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan
lafaznya, mampu meriwayatkan hadis secara lafaz, terpelihara hafalannya, bila
meriwayatkan hadis secara laszhi bunyi hadis yang diriwayatkan sama dengan
bunyi hadis yang diriwayatkan oleh orang
lain, dan terlepas dari tadlis (penyembunyian identitas perawi karena cacat);
2) sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah saw, atau dapat juga tidak
sampai kepadanya.[5]
Al-Bukhari dan Muslim, dua ulama terkemuka
dikalangan mudawwin Hadis juga tidak membuat definisi Shahih secara tegas.
Mereka hanya menetapkan beberapa kriteri hadis yang bisa dijadikan hujjah, dan
ini mencerminkan ketatnya penentuan ke-shahih-an hadis menurut keduanya.
Kriteria-kriteria itu adalah : 1) silsilah sanadnya harus bersambung mulai dari
perawi pertama sampai perawi akhir; 2) para perawinya harus dikenal tsiqah,
dalam arti adil dan dhabith (kuat hafalannya); 3)hadisnya tidak ber’’illat
(cacat) dan Syudzudz (janggal). Mengenai persambungan sanad atau ittshal
as-sanad, mereka berbeda pendapat. Menurut al-Bukhari, sanad hadis dikatakan
bersambung apabila antara satu perawi dengan perawi berikutnya pernah bertemu
(liqa’), meskipun hanya satu kali. Sedangkan menurut Muslim, antara mereka
cukup diketahui sezaman (mu’asharah) saja, sudah dapat dikatakan bersambung.
3.
Syarat-syarat
Hadis Shahih
a.
Diriwayatkan
oleh para perawi yang adil
Kata ‘adil dari kata ‘adala, ya’dilu, adalatan wa
‘udulatan, yang menuut bahasa berarti lurus, tidak ‘ berat sebelah, tidak
zalim, dan tidak menyimpang. Para perawi yang ‘adil, berarti perawi yang lurus
atau yang tidak menyimpang.
Yang dimaksud dengan istilah ‘adil dalam periwayatan
disini, secara terminologis mempunyai arti spesifik atau khusus yang sangat
ketat dan berbeda dengan istilah ‘adil dalam terminology hukum. Dalam
periwayatan, seseorang dikatakan ‘adil apabila memiliki sifat-sifat yang dapat
mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan-Nya, baik akidahnya, terpelihara dirinya dari dosa besar dan
kecil, dan terpelihara akhlakna termasuk dari hal-hal yang menodai muru’ah,
disamping ia harus muslim, baligh, berakal sehat, dan tidak fasik.[6]
Ke’adil-an para perawi diatas menurut para ulama
dapat diketahui melalui : 1) keutamaan kepribadian nama perawi itu sendiri yang
terkenal dikalangan ulama ahli Hadis, sehinggal ke-‘adil-annya tidak diragukan
lagi; 2) penilaian dari para ulama lainnya, yang melakukan penilaian terhadap
para perawi tentang ke-‘adil-an perawi-perawi Hadis; 3) penerapan kaidah
al-jarh wa at-ta’dil, apabila terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama
peneliti terhadap perawi-perawi tertentu.
b.
Ke-dhabith-an
perawinya Sempurna
Kata dhabith dari kata dhabatha, yadhbithu,
dhabthan, yang menurut bahasa berarti kokok, yang kuat, yang cermat, yang
terpelihara, dan yang hafal dengan sempurna. Maka, ungkapan perawi yang
dhabith, berarti perawi yang cermat atau perawi yang kuat.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabith
adalah yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian
mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala ia perlukan. Ini
artinya bahwa orang yang disebut dhabith harus mendengar secara utuh apa yang
diterimanya, memahami isinya, kemudian mampu mereproduksi atau menyampaikan
kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana mestinya. Ini sesuai dengan
yang dikehendaki oleh isi salah satu hadis Rasul saw, sebagaimana telah
disinggung pada pembahasan terdahulu, dari Ibn Mas’ud, yang artinya “Semoga
Allah memberikan karunia kepada Hamba-Nya yang mendengar ucapanku, kemudian
menghafal dan menyampaikan kepada orang lain. Ada orang menerima ilmu tetapi
tidak memahaminya. Ada juga orang yang menerima ilmu dan menyampaikan
kepada orang lain, akan tetapi orang
yang menerimanya lebih paham dari yang menyampaikannya.[7]
c.
Antara
Sanad-sanadnya harus Muttashil
Kata muttashil dari kata ittashala, yattashilu,
ittishalan, yang secara bahasa berarti yang bersambung atau berhubungan. Maka
kata sanad yang muttashil, secara bahasa berarti sanad-sanad hadis yang
berhubungan atau yang bersambungan.
Yang dimaksud dengan sanad hadis yang muttashil
disini, ialah sanad-sanad hadis yang satu dengan lainnya pada sanad-sanad yang
disebut berdekatan atau beruntun, bersambungan dan merangkai. Dengan kata lain,
diantara pembawa hadis dan penerimanya
terjadi pertemuan langsung. Dengan persambungan ini, sehingga menjadi
silsilah atau rangkaian sanad yang
sambung menyambung, sejak awal sanad sampai kepada sumber hadis itu sendiri,
yaitu Rasulullas saw.
Hadis-hadis yang terbukti sanad-sanadnya muttashil,
maka hadis tersebut dilihat dari sudut persambungannya memenuhi satu syarat
ke-shahih-annya. Dengan demikian, maka haidis-hadis yang termasuk kedalam
kategori mursal, muntaqhi’, mu’dhal, dan mu’allq, tidak termasuk kedalam
kelompok hadis shahih.
Untuk membuktikan apakah antara sanad-sanad itu
bersambung atau tidak, diantaranya dilihat bagaimana keadaan usia masing-masing
dan tempat tinggal mereka. Apakah usia keduanya memungkinkan ketemu atau tidak.
Selain itu, bagaimana pula cara mereka menerima dan manyampaikannya. Misalnya,
apakah dengan cara sama’ (mendengar langsung dari perawi hadis itu), atau
dengan cara munawalah (seorang guru meberikan hadis yang dicatatnya kepada
muridnya).
d.
Tidak
ada cacat atau ‘Illat
Kata ‘illat dari kata ‘alla, ya’ullu, atau dari
‘alla, ya’illu, yang secara bahasa brarti penyakit, sebab, alas an, atau
uzur/halangan. Maka ungkapan tidak ber’illat secara bahasa berarti tidak ada
sebab (yang melemahkannya), atau tidak ada halangan.
Secara terminologis, yang dimaksud dengan ‘illah
disini ialah suatu sebab yang tidak Nampak atau samar-sama yang dapat mencacatkan
ke-shahih-an suatu hadis. Maka yang disebut hadis tidak ber’illat berarti hadis
yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan adanya hal-hal yang tidak baik, yang
kelihatannya samar-samar. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi
zhahir-nya hadis tersebut terlihat shahih. Adanya cacat tidak Nampak tersebut
mengakibatkan adanya keraguan, sedang hadis yang didalamnya terdapat keraguan
seperti kualitasnya menjadi tidak shahih.
Misalnya, menyebutkan muttashil terhadap hadis
munqathi’ atau yang mursal. Penyebutan ini mengakibatkan Nampak adanya
kebenaran, bahwa hadis itu Muttashil. Akan tetapi tidak didukung oleh bukti
yang meyakinkan, sehingga jika diteliti lebih lanjut, akan menimbulkan keraguan
akan kebenarannya. Ini artinya Nampak adanya kebenaran yang samar-samar. Dengan
demikian, maka hadis ini dinilai memiliki ‘illat dari sudut sanad-nya.
e.
Tidak
janggal atau Syadz
Kata syadz dari kata syadzdza, yazyudzdzu, yang
menurut bahasa berarti yang ganjil, yang
tersinggung, yang terasing, yang menyahi aturan, yang tidak biasa atau yang
menyimpang. Maka hadis yang syadz menurut bahasa berarti hadis yng menyimpang,
hadis yang ganjil atau hadis yang menyalahi aturan.
Yang dimaksud dengan hadis yang tidak syadz disini
ialah hadis yang tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah diketahui
tinggi kualitas ke-shahih-annya. Hadis yang syadz pada dasarnya merupakan hadis
yang diriwaytkan oleh perawi yang tsiqah. Akan tetapi karena matan-nya
menyalahi hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tinggi
ke-tsiwqah-annya, maka hadis itu dipandang menjadi janggal atau syadz. Dengan
demikian, maka kedudukan haadis ini dipandang lemah dari sudut matannya.
Al-Hakim memberikan difinisi syadz itu berbeda
dengan pendapat para ulama lainnya. Menurutnya, bahwa hadis syadz ialah hadis
yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tsiqah dan diterima dari yang tsiqah
pula, tanpa ada mutabi atau perawi lain yang meriwayatkannya. Dengan difinisi
ini berarti ia menyamakan hadis syadz dengan hadis fard atau garib, yang
berarti pembahasan tentang ke-syadz-an suatu hadis tidak ada kaitannya dengan
pembahasan dari sudut kualitas atau ke-shahih-annya.
4.
Pembagian
hadis Shahih
a. Hadis shahih
li-Dzatih
Yang dimaksud dengan hadis shahih li-dzatih ialah
hadis shahih dengan sendirinya. Artinya ialah hadis shahih yang memiliki lima
syarat atau kriteria, sebagaimana disebutkan pada persyaratan diatas. Dengan
demikian, penyebutan hadis shahih li-dzatih dalam pemakaiannya sehari-hari,
pada dasarnya cukup dengan memakai sebutan hadis shahih, tanpa harus member
tambahan kata li-dzatih.
Hadis shahih dalam kategori ini telah berhasil
dihimpun oleh para mudawwin hadis, dengan jumlahnya yang sangat banyak seperti
oleh Malik, al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud, at-Turmudzi, dan Ibn Majah
dalam kitab-kitab shahih karya masing-masing.
b. Hadis shahih
li-Gairih
Yang dimaksud dengan hadis shahih li-gairih ialah hadis yang
ke-shahh-annya dibantu oleh adanya keterangan lain. Hadis kategori ini pada
mulanya memiliki kelemahan pada aspekrawinya (qalil adh-dhabith). Diantara
perawinya ada yang kurang sempurna ke-dhabith-annya, sehingga dianggap tak
memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadis shahih. Baginya semula hanya
sampai kepada derajat atau kategori hadis hasan li-dzatih.
Dengan ditemukannya keterangan lain, baik berupa
syahid maupun mutabi’ (mayan atau sanad lain) yang bias menguatkan atau
kandungan matan-nya, hadis ini derajatnya naik setingkat lebih tinggi, sehingga
menjadi shahih li-gairih.
5.
Kehujahan
hadis Shahih
Para ulama sependapat, bahwa hadis ahad
yang shahih dapat dijadikan hujah untuk menetapkan syari’at Islam. Namun mereka
berbeda pendapat, apabila hadis kategori ini dijadikan hujah untuk menetapkan
soal-soal kaidah.
Perbedaan pendapat diatas berpangkal
pada perbedaan penilaian mereka tentang faedah yang diperoleh dari hadis ahad
yang shahih, yaitu apakah hadis semacam ini member faedah qath’I atau zhanni.
Ulama yang menganggap hadis sesmacam ini member faedah qath’I sebagaimana hadis
mutawatir, mka hdis-hadis tersebut dapat dijadikan hujah untuk menetapkan
masalah-masalah akidah. Akan tetapi, yang menganggap hanya memberi faedah
zhanni, berarti hadis-hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujah untuk
menetapkan soal ini.
Para ulama dalam hal ini terbagi kepada
beberazp pendapat, anatara lain pertama,
menurut sebagian ulama memandang bahwa hadis shahih tidak member faedah qath’I,
sehingga tidak bias dijadikan hujah untuk menetapkan sola akidah. Sebagian
ulama ahli hadis sebagaimana dikatakan an-Nawawi, memandang hanya hadis-hadis
shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim memberikan faidah qath’i. menurut sebagian
ulama lainnya, antar Ibn Hazm, bahwa semua hadis shahih memberikan faedah
qath’I tanpa dibedakan apakah diriwayatkan oleh kedua ulama diatas atau bukan.
Menuurut Ibn Hazm, tidak ada keterangan atau alas an yang harus mebedakan hal
ini berdasarkan siapa yang meriwayatkannya. Semua hadis, jika memenuhi syarat
keshahih-annya adalah sama dalan memberikan faedahnya.[8]
6.
Ranking
Silsilah Sanad Hadis Shahih
Melihat kualitas masing-masing perawi
antara satu dengan yang lainnya tidak sama, begitu juga antara silsilah sanad
yang satu dengan silsilah lainnya, maka diantara para ulama ada yang berusaha
menyusun ranking atau martabat kualitas mereka sejak yang paling tinggi
kualitasnya atau yang disebut dengan a’la darafah atau ashah al-asanid, ahsan
al-asanid sampai kepada adh’af al-asanid. Akan tetapi, sesuai dengan hasil
penelitian dan visi pandangan masing-masing, diantara mereka tidak sama dalam
menentukan siapa menduduki ranking tertinggi.
Diantara mereka ada yang memandang bahwa
silsilah sanad tertinggi adalah hadis yang diriwayatkan melalui Ibn Syihab
az-Zuhri, dari Salim bin Abdillah bin Umar, menurut yang lainnya ialah hadis
yang diriwayatkan melalui Sulaiman al-A’masy, dari Ibrahim an-Nakha’I, dari
Alqamah bin Qias, dari Abdullah bin Mas’ud, menurut yang lannya lagi, ialah
hadis yang diriwayatkan melalui Malik bin Anas, dari Nafi’ (maula Ibn Umar),
dari Ibn Umar. Silsilah sanad yang disebut
terakhir ini dipegang oleh al-Bukhari.
Berdasarkan penilaian terhadap martabat
atau ranking-ranking seperti diatas, para ulama ahli hadis membai tingkatan
kualitas hadis shahih menjadi Tujuh dengan urutan sebagai berikut :
1. Hadis
yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim (Muttafaq’alaih)
2. Hadis
yang di-takhrij (diriwayatkan) oleh al-Bukhari sendiri
3. Hadis
yang di-takhrij oleh Muslim sendiri
4. Hadis
yang di-takhrij atas dasar syarat-syarat al-Bukhari dan Muslim, akan tetapi
keduanya tidak men-takhrij-nya
5. Hadis
yang di-takhrij atas dasar syarat al-Bukhari, akan tetapi al-Bukhari tidak
men-takhrij-nya
6. Hadis
yang di-takhrij atas dasar syarat Muslim, akan tetapi Muslim tidak
men-takhrij-nya
7. Hadis
yang dishahihkan oleh para ahli hadis selain al-Bukhari dan Muslim dengan tanpa
berpegang kepada syarat-syarat keduanya.
[1] Sulaemang L, Ulumul Hadis, (Kendari: CV. SHADIRA, 2009), hal 1
[2] Ibn ash-Shalah, Op.Cit., hlm 177
[4] As-Sakhawi, Op.Cit., hlm. 178
[5] Asy-Syafi’i. al-Umm, Juz II, Maktabah Dar at-Turats,
Kairo, 1399H/1979M, hlm 367-371
[6] Ibn Hajar al-Asqalani, Nukhbah al-Fikr, Op.Cit., hlm 182
[7] Abu Daud, jilid II, juz III, Op.Cit., hlm 184. Hadis ini juga
diriwayatkan oleh asy-Syafi;I, Ahmad bin Hambal, Ibn Majah dan ad-Dharimi.
[8] Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin
Sa’id bin Hazm (selanjutnya disebut Ibn Hazm). Al-IhkamFI USHUL AL-Ahkam, Jilid I, al-Ashimah, Kairo, t.t, hlm. 119-137.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa
hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukannya
setelah Al-Qur’an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat Islam baik berupa
perintah maupun berupa larangannya sama halnya dengan kewajiban mengikuti
Al-Qur’an. Hal ini karena hadis meerupakan mubayyin terhadap Al-Qur’an yang
karenanya siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan
menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis tanpa Al-Qur’an. Karena
Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar
sya’riat. Dengan demikian antara hadis dan Al-Qur’an memiliki kaitan sangat
erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bias dipisah-pisahkan atau
berjalan sendiri-sendiri.
B. Saran
Mempelajari hadis bagi umat Islam
merupakan keharusan sebagaimana mempelajari Al-Qur’an karena keduanya mempunyai
korelasi yang sangat integral, maka mempelajari pengantarnya juga suatu
keharusan. Selain itu, hadis juga sangat bagus dipelajari oleh kalangan
anak-anak muda, karena komunitas yang mempelajarinya mayoritas dari kalangan
mahasiswa dan pelajar yang memiliki semangat jiwa muda.
DAFTAR PUSTAKA
L,
Drs. Sulaemang. Ulumul Hadis. Kendari : CV. SHADRA. 2009
Asy-Syafi’i.
al-Umm, Juz II, Maktabah Dar
at-Turats, Kairo, 1399H/1979M
Abu
Daud, Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani. Sunan
Abi Daud. Dar al-Fikr, Beirut, 1990 M
Abu
Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm (selanjutnya disebut Ibn Hazm). Al-IhkamFI USHUL Al-Ahkam, Jilid I,
al-Ashimah, Kairo, 1992
Maktabahmanhajsalafi.wordpress.com/istilah-ilmu-hadis
(diakses pada tanggal 6/3/2013)
L,
Drs.Sulaemang, Alifuddin, Dr. Muh. Ilmu
Mushthalah Hadits. Kendari. 2007
As-Shalih,
Dr. Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Hadis.
Jakarta : Pustaka Firdaus. 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar